Si hijau semakin merana saja. Helai-helainya terkoyak. Padahal dulu ia menjadi primadona. Setiap pandang tertuju padanya. Hampir setiap hari ia diajak berswafoto. Lalu setiap ibu jari memberikan apresiasi. Akhirnya dengan bangga ia mempersembahkan apa yang dimilikinya sebagai pemuas lidah.
Kuberikan sentuhan pada tubuhnya yang meriang. Aku turut merasakan penderitaannya yang sudah berlangsung beberapa bulan. Ingin membebad lukanya, tapi takut salah. Batinku berkecamuk, "jangan-jangan nanti malah semakin merana."
Biarlah kumencoba membebaskan lukanya. Sebuah gunting menari-nari, terpangkaslah helai-helainya hingga menyisakan sedikit batangnya. Ibu Mely mengingatkanku untuk berhati-hati dan jangan ragu memotong tangkainya. Jemariku menyentuh suatu benda yang lembek dan dingin. Geli kurasakan, bergidik. Ternyata sesuatu itu si beki alias bekicot. Mungkin inilah penyebab si hijau bayam brazil kehilangan rimbunnya.
Keinginan lama yang terpendam sepertinya harus terlaksana hari ini. Satu takaran pupuk fotosintesis hasil uji coba kelompok kami, sekira dua tiga sendok dicampur dengan satu liter air disiramkan pada bedengan secara merata.
Si beki tidak diusir apalagi dibunuh. Biarlah ia pergi dengan sendirinya. Bagaimanapun, ia pernah berjasa pada kami, anak-anak kampung yang tengah bermain saat usia kami masih satuan. Salah satu dari kami jatuh dan terluka. Si beki mengelus luka di tangan sahabat.
TDBA dalam cerita
15 Februari 2022